KISAH SURAM KAKATUA SUMBA

Hari masih pagi di padang rumput Lokuhuma, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Kabut mengambang pada lembah-lembah bukit. Embun membasahi rerumputan.
Tapi bagi burung-burung, hari telah terlalu jelas. “Kita terlalu siang. Kakatua mungkin telah pulang,” jelas Bobby Darmawan, staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. 

Kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) tidak lagi terdengar suaranya. Burung paruh bengkok berwarna putih dengan jambul jingga itu telah melalang buana. Titus masih mencari-cari kakatua sumba.
Kami berdiri di punggung bukit sebagai akibatnya mampu melayangkan pandangan ke segala arah. Pada kerumunan blok hutan di lembah bukit pada sisi timur, kakatua jambul jingga menghabiskan malam. Sunyi senyap.
“Itu masih ada kakatuanya. Bertengger, 5 ekor,” ungkap Titus. Matanya begitu awas. Lima kakatua tersebut bertengger membisu pada cabang pohon marra (Trameles nudiflora). Bobby menuturkan pohon ini kesukaan kakatua jambul jingga.
“Pohonnya akbar, menjulang dan kayunya tidak terlalu keras,” terangnya, “cocok buat bersarang di lubang pohon.”
Pagi itu, pendengaran Bobby yang peka sanggup mengenali berbagai jenis burung. Seekor burung yang terbang melintas cepat, sembari bersiul seperti peluit panjang. “Itu Nuri pipi merah.” Hanya bunyi; ad interim nuri pipi merah itu segera karam pada tetajukan pohon. Bobby menuturkan bahwa pada padang rumput pula terdapat paok la’us (Pitta elegans). “Tadi terdapat suaranya,” ujarnya.
Lokuhuma hanya keliru satu tempat pengamatan burung pada Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Tak jauh menurut situs ini, tepat pada jalan raya antara Waikabubak – Waingapu masih ada Langgaliru.
Lokasi ini berada di tepi jalan raya, dan kerap disebut kilometer 68-72. “Di tepi jalan biasa dilakukan pengamatan burung.” Dengan menyelisik tajuk hutan yang lebat, pengamat acapkali mencari-cari aneka burung di Langgaliru. 
Bobby mengisahkan, pengamat burung asing kerap mengunjungi taman nasional. Di Lokuhuma, para pecinta burung liar mengamati kakatua jambul jingga. “Setelah ketemu, ya pulang.”

Pada era 1970-1980, kakatua subspesies Sumba ini masih poly dijumpai. “Dulu dianggap sebagai hama flora jagung oleh warga ,” imbuh lelaki berambut abu-abu ini.
Sekarang jumlah kakatua sumba sudah menyusut. Lembaga persatuan konservasi alam dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan status kritis terancam punah bagi kakatua sumba. Sementara konvensi dunia CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Memasukkan kakatua ini dalam daftar apendiks I. Artinya, kakatua sumba output tangkapan di alam dihentikan diperjual-belikan.
Bentang alam Lokuhuma berupa bukit-bukit padang rumput dengan bercak-bercak hutan pada lembah dan puncak bukit. Blok-blok vegetasi inilah yang memudahkan pengamatan burung. Hanya menggunakan duduk serta menunggu pada zenit bukit, burung-burung sanggup dicermati dengan gampang. 
Pada saat kemarau, kebakaran tak jarang melalap padang rumput. Saat itulah burung-burung elang terbang pada angkasa mencari mangsa. “Kalau kebakaran, elang mudah dicermati. Mungkin karena rumputnya habis, elang mudah mencari mangsa,” kata Bobby.
Bahkan hari itu, beberapa elang mengapung di angkasa. Meliuk-liuk.
Seperti ditulis sang Agus Prijono untuk National Geographic

0 Response to "KISAH SURAM KAKATUA SUMBA"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel