Menjelajahi Kelenteng dalam Surabaya 2019
July 25, 2019
Add Comment

Image source: //media.viva.co.id/thumbs2/2010/05/26/90017_waisak_641_452.jpg
Pertengahan November kemarin (2017), saya menyempatkan diri berkunjung ke dua buah kelenteng yakni Kelenteng Boen Bio & Kelenteng Hong Tik Hian. Kegiatan ini diselenggarakan pada memenuhi mata kuliah Ilmu Budaya Sosial Dasar (IBSD). Kami bersepakat buat berkunjung kesana bersamaan menggunakan teman -- teman menggunakan ditemani beberapa orang dosen dari Universitas Ciputra.
Kami tetapkan berkumpul pada pagi hari kurang lebih jam sepuluh. Kami berkumpul dalam sebuah mall dekat Jembatan Merah. Namanya Jembatan Merah Plaza. Jangan keliru, Jembatan Merah Surabaya sendiri merupakan keliru satu ikon loh. Kenapa demikian? Karena Jembatan Merah adalah keliru satu saksi sejarah perjuangan bangsa, terutama pemuda-pemuda Surabaya ketika melawan kolonialisme Belanda. Salah satu unsur nama Jembatan Merah karena pernah terjadi pertumpahan darah antara pejuang & penjajah ketika melawan pasukan Sekutu yang ingin merebut kembali Surabaya, dengan tewasnya pemimpin pasukan Sekutu saat itu, A. W. S. Mallaby.
Setelah berkumpul, kami melakukan bepergian kami sekitar lebih kurang 200 meter sampai tempat pertama. Di tempat pertama itu, kami bertemu beberapa sahabat kami yang pribadi berkumpul disana. Disana, kami eksklusif berfoto buat mendokumentasikan aktivitas kunjungan kami, meskipun terdapat pula teman yang takut untuk berfoto disana, karena masih ada cacat takut berat jodoh.
Sangat terasa awalnya bau dupa yang sangat menyengat pada Kuil Hong Tik Hian ini. Konon, dari sebuah kertas doa, kuil Tridharma ini telah dibangun sejak 500 tahun sebelum tahun 1899. Artinya telah berdasarkan kurang lebih tahun 1399 & sudah berdiri lebih menurut 6 abad.
Tahun 1899 baru dilakukan pemugaran sang para simpatisan Kuil Hong Tik Hian ini, sesuai menggunakan batu memoar yg memuat informasi pada bagian dinding altar utama belakang " Saat ini setelah perbaikan tahun 1983, selesainya kebakaran bangunan pokok, marmer peringatan dalam tempel dalam dinding sebelah kiri atau dinding sebelah altar "Kong Co Boen Chiang Tee Koen".
Disebutkan juga, menurut arsip yang aku lihat mengenai kuil ini, pada pemugaran tahun 1899 bahwa terdapat lima lantai pada bawah bangunan utama, yang mengungkapkan bahwa Kuil ini telah masih ada sekitar 500 tahun (1399), & pemugaran dilakukan setiap 100 tahun, seperti yang tercantum pada kertas doa.
Pada tahun 1949, efek Perang Dunia II dalam tahun 1940 hingga 1945, jua sebab pergolakan Indonesia -- Hindia Belanda tahun 1945 hingga 1949, kelentang ini poly ditinggalkan & tidak terurus & nir sempat diurusi lagi oleh pengurus saat itu. Maka, pada tahun 1949, beserta dengan para umat & simpatisan Kuil Hong Tik Hian, dipimpin sang Bapak Ong Kie Tjai, maka menciptakan suatu panitia pembangunan/perbaikan kelenteng pula diadakan perayaan HUT ke 50 berdasarkan pemugaran tahun 1899, maka dilakukan acara sebagai berikut :
Upacara Keagamaan secara akbar -- besaran
Kirab / minuman memabukan -- arakan Kiem Sien Dewa Kong Tik Coen Ong keliling kota buat Tolak Bala & memberi berkah.
Gelar Seni Budaya Agama, pertunjukan berhubungan & bernuansa keagamaan
Setelah itu, panitia pemugaran dibubarkan & bersamaan menggunakan itu dibuat suatu Badan Pengurus bernama Hong Tik Sian King Sin Sia tahun 1949 & terdaftar pada Komtabes 101 Surabaya.
Saat memasuki kelenteng Hong Tik Hian, yg didominasi oleh warna merah, saya pribadi memasuki ruang Hio Lo, dimana ruangan itu berfungsi menjadi loka melakukan ritual pembakaran Hio (semacam media buat mengiringi doa- doa, dengan dibakar dalam ujungnya, & ditempatkan suatu tempat kotak yang berisi abu hio -- hio lain yg telah terlebih dahulu dibakar disana) buat berdoa & menghormati arwah leluhur. Disana, tempatnya relatif akbar buat dimasuki 50 orang.
Lampu yg tidak begitu jelas mengakibatkan perbedaan makna ruangan menjadi temaram, yg memungkinkan orang khusyuk berdoa. Setelah berdasarkan ruangan tersebut, kita berpindah ke bangunan dalam depannya, dimana masih terdapat suatu panggung kecil. Tapi, kita melanjutkan perjalanan ke ruangan sebelah atas. Disana, kami berkumpul & mendengarkan cerita dari bapak pengurus kuil Tridharma tersebut. Beliau membawa pembicaraan ke arah pentingnya menjaga persatuan & kesatuan, terutama dalam Indonesia.
Kita wajib bersyukur bahwa kita memiliki Pancasila, yg sebagai adiliuhung ideologi dalam Indonesia. Menurut beliau, tempat ibadah itu harus bersifat universal, nir terbatas menggunakan sekat -- sekat kehidupan. Manusia jua akan mengalami 4 penderitaan, yakni lahir, tua, meninggal & mangkat , & menju dalam kedamaian.
Saya sendiri memperhatikan simbol -- simbol yang masih ada disana. Selain didominasi rona merah, juga kuning, masih masih ada poly ornamen naga, yang dipercaya merupakan hewan kudus yg sanggup terbang. Juga banyaknya lilin -- lilin dimana mempunyai lingkar yg benar -- benar akbar, dengan aksara Tiongkok.
Dinding yang saya lihat jua memiliki gambar -- gambar yang tertuang dalam dinding. Ada gambar Nirwana, sebagai loka suci yang akan dituju setelah manusia menghadapi kematian.
Saya pula berusaha memperhatikan orang yg berada disana buat mengucapkan doa. Pertama membakar dupa, memberikan hio pada tangan, lalu membaca doa, & menunjukkan hio tersebut pada kepala, lalu menancapkan pada sebuah benda logam yg mungkin terbuat berdasarkan kuningan & tembaga, yg sangat mungkin saja berusia ratusan tahun.
Ritual yang aku rasa sangat spesifik, berdasarkan orang yg terbiasa berkonsentrasi, padahal terdapat sekitar 40 -- 50 anak sedang mendengarkan pesan-pesan persatuan menurut pengurus kelenteng.
Selain itu kelenteng ini memiliki unsur Tridharma, dimana masih ada agama Budha, Tao, & Konghuchu sanggup berdoa & menghaturkan persembahan disana. Terjadi tragedi unik galat seseorang sahabat kami kelenger disana. Selain sebab kondisinya yg lemas, hal yang aku rasa artinya penyebabnya artinya peredaran udara yg kurang lancar.
Selain ruangan yg gelap pada siang hari, asap berdasarkan pembakaran Hio yang sangat poly ketika ramai orang jua menjadikan orang sulit menarik nafas menggunakan jernih dalam ruangan bawah.
Setelah saat indikasi pukul 12.00, kami tertarik buat pulang ke bawah. Ternyata disana terjadi pertunjukan wayang yg menampilkan cerita cerita yang erat kaitannya dengan sejarah Tiongkok, seperti Sam Kok (Dongeng Tiga Kerajaan). Pengurus juga bercerita bahwa pertunjukan ini sudah berlangsung usang.
Saya berusaha tahu bahwa wayang Pho Tee Hi ini berasal menurut akulturasi budaya Tiongkok & Indonesia pada zaman dahulu. Ternyata kesenian ini sudah usang & dari dari daratan Tiongkok berdasarkan Dinasti Jin & berkembang pada Dinasti Song.
Setelah berdasarkan sana, kami beserta -- sama melanjutkan kunjungan kami ke loka kelenteng selanjutnya yakni Kelenteng Boen Bio. Kelenteng Boen Bio ini berjarak cukup jauh berdasarkan kelenteng kami yang pertama. Hampir 30 mnt kami berjalan kaki diantara ke dua kelenteng ini. Kelenteng ke dua ini terletak dalam jalan Kapasan angka 131.
Kelenteng ini ruangan utamanya hanya 1 ruang besar pada depan. Ruang akbar ini masih masih ada kursi -- kursi panjang buat melepas lelah. Kami pun duduk & menunggui sebagian kawan kami yang menuaikan ibadah sholat. Setelah itu, pengurus kelenteng memperlihatkan penerangan wacana Kelenteng Konghuchu Boen Bio.
Kelenteng ini dibangun pada tahun 1903 & selesai dalam tahun 1906, adalah miniatur menurut sebuah Kelenteng Klenmyou dalam Tiongkok. Arsitekturnya berasal dar Tiongkok. 4 pilar adalah simbol yg indikasi spirit bahwa semua manusia bersaudara. Terdapat lima pintu yang menjelaskan sbuah ajaran Konghuchu, yang menandakan 5 hubungan sosial kemasyarakatan yakni Orang Tua, Kakak Adik, Suami Istri, Pertemanan, Pemimpin & Bawahan.
Related
Selain itu simbol -- simbol lain yang masih terdapat merupakan pada bagian altar diantaranya 2 simbol minyak yakni melambangkan Yin & Yang. Lampion melambangkan virtual & dinyalakan sang umat. Dinyalakan setiap setahun sekali.
Bangunan kelenteng ini pula bila ingin dilakukan perbaikan setiap setahun sekali, wajib dengan izin tertulis sebab sudah sebagai bangunan cagar budaya & melalui dinas pariwisata. Kelenteng ini jua berperan aktif pada masa perjuangan dengan menyembunyikan beberapa pejuang, bahkan pernah dijatuhi bom oleh pihak Sekutu. Tetapi bangunan utama selamat dari hujan bom.
Diceritakan jua orang Wei De Dong Tian, pengurus kelenteng tadi, setiap tahun, kelenteng ini mengadakan pembagian sembako buat 4000 masyarakat yang kurang beruntung, jua diadakan program pewayangan sehari sebelum kelahiran Nabi Kungze. 4 arah mata angin ialah Utara (karir, pengetahuan), sedangkan selatan unsurnya merupakan terang atau kesadaran. Sisi Timur Naga Hijau sedangkan sisi Barat artinya Macan Putih.
Apabila bangunan ini dilihat menurut atas, maka bentuknya merupakan seperti kura -- kura. Kura -- kura melambangkan panjangnya usia. Diterangkan juga, merah artinya simbol kebahagiaan, kerukunan sedangkan warna kuning melambangkan kemuliaan juga kesetiaan. Menarik pula dikala dibahas soal Feng Shui, yakni ilmu yang mengusut tenaga alam & diterapkan pada bangunan.
Sungguh menarik bahwa masih ada foto Gusdur dipajang pada samping kanan altar utama. Gusdur yg adalah seorang Kyai juga tokoh berdasarkan organisasi Islam Nadahtul Ulama.
Gusdur mendapatkan hati pada rakyat Konghuchu karena poly membantu penyamarataan hak beribadah dalam warga Konghuchu saat beliau menjadi presiden. Gudsur yang merupakan seorang tokoh pruralisme memang banyak membantu kaum -- kaum termajinalkan dalam bumi pertiwi ini.
Hal menarik pula yang saya temukan merupakan saat memperhatikan papan pengumuman. Papan pengumuman yg masih ada bercerita perihal seseorang siswi Muslim yg diberangkatkan menggunakan beasiswa berdasarkan Kelenteng & belajar pada Tiongkok. Sungguh sebuah bingkai keberagaman yg anggun sekali sanggup berada pada bumi pertiwi tercinta, Indonesia.
Terlihat bahwa Cagar Budaya ke 2 Kelenteng yg berada dalam Surabaya ini menjadi loka yang baik untuk umat beragama Budha juga Konghuchu melatunkan doa -- doa pada Sang Pencipta. Keuntungannya artinya letaknya pada pusat kota jua mengakibatkan akses warga dekat buat menjangkaunya. Tapi harus diperhatikan aliran udaranya, khususnya yg kuil Hong Tik Hian sebab kalau poly umat, cukup sulit untuk bernafas menggunakan leluasa disana.
Melihat keberagaman yg masih ada dalam Indonesia ini, saya sangat percaya, bahwa menghargai setiap disparitas ini penting buat memelihara persatuan bangsa. Keramah-tamahan yg kami dapatkan juga sinyal positif buat memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
0 Response to "Menjelajahi Kelenteng dalam Surabaya 2019"
Post a Comment