KOTA BLORA
February 02, 2014
Add Comment
Kabupaten Blora (bahasa Jawa: Hanacaraka ) adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya merupakan Blora, kurang lebih 127 km sebelah timur Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten ini berbatasan menggunakan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati pada utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) pada sebelah timur, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) pada selatan, serta Kabupaten Grobogan pada barat.
Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora.
Lahan pertanian di Kabupaten Blora
Hutan jati di Kabupaten Blora
Wilayah Kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 20-280 meter dpl. Bagian utara merupakan kawasan perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan juga berupa perbukitan kapur yang adalah bagian menurut Pegunungan Kendeng, yang membentang dari timur Semarang sampai Lamongan (Jawa Timur). Ibukota kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan Pegunungan Kapur Utara.
Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan hutan, terutama di bagian utara, timur, dan selatan. Dataran rendah pada bagian tengah umumnya merupakan areal persawahan.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air (baik buat air minum maupun buat irigasi) pada musim kering, terutama pada daerah pegunungan kapur. Sementara pada musim penghujan, rawan banjir longsor di sejumlah tempat.
Kali Lusi merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora, bermata air di Pegunungan Kapur Utara (Rembang), mengalir ke arah barat melintasi kota Purwodadi yang akhirnya bergabung dengan Kali Serang.
Sejarah Blora
Pemanfaatan lahan hutan dengan penanaman padi gogo di Kabupaten Blora.
Asal Usul Nama Blora
Menurut cerita rakyat Blora berasal menurut istilah BELOR yang berarti lumpur, lalu berkembang menjadi mbeloran yg akhirnya hingga kini lebih dikenal menggunakan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal berdasarkan kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa seringkali terjadi pergantian atau pertukaran huruf W menggunakan alfabet B, tanpa mengakibatkan perubahan arti istilah. Sehingga seiring dengan perkembangan zaman istilah WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA serta istilah BALORA akhirnya sebagai BLORA.
Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali menggunakan pengertian tanah berlumpur.
Blora Era Kerajaan di bawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang dalam ketika itu masih pada bawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada waktu itu bernama Aryo Penangsang, yg lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi:
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi selesainya Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi takhta Demak, sentra pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
Blora di bawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang nir lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yg berpusat pada Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk daerah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) wilayah Blora diberikan kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin sang Amangkurat IV, sebagai akibatnya sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
Blora di Zaman Perang Mangkubumi (tahun 1727–1755)
Pada saat Mataram pada bawah Paku Buwana II (1727-1749), terjadi pemberontakan yang dipimpin sang Mangku Bumi serta Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, serta Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi raja pada Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti serta Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi raja dalam lepas 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan menggunakan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat jua para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, sebagai Bupati Blora.
Blora di bawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri menggunakan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yg terkenal menggunakan nama 'palihan negari', karena menggunakan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi 2 kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta pada bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta pada bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian menurut wilayah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk sebagai daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur berdasarkan jabatannya
Blora menjadi Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram, Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya berdasarkan apanage sebagai daerah kabupaten pada hari Kamis Kliwon, lepas 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal menggunakan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya merupakan WILATIKTA.
Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani timbul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perlawanan petani ini tidak tanggal berdasarkan makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan dalam ketika itu.
Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan sang Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah (petani). Di daerah-daerah lain pada Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, misalnya peristiwa Cilegon dalam tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seseorang petani berdasarkan Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yg dipelopori oleh Samin Surosentiko.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani antikolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang nir merupakan pemberontakan radikal bersenjata.
Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah Belanda antara lain:
Berbagai macam pajak diimplementasikan pada daerah Blora
Perubahan pola pemakaian tanah komunal
Pembatasan serta pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan output hutan sang penduduk
Indikator-indikator ini mempunyai interaksi langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini memiliki corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidakadilan serta mengharapkan zaman emas yang makmur.
0 Response to "KOTA BLORA"
Post a Comment